top of page

Leaves #3: Dikejar Deadline

  • Writer: Vee
    Vee
  • May 16, 2019
  • 8 min read

Updated: Mar 30, 2021


Note: latar waktu pada cerita di chapter ini terjadi sebelum chapter 2

Enjoy! :)


Seraya menenteng sebuah laptop dengan sebelah tangannya, Akazawa Sho memandang satu kata yang terukir di atas sebuah papan bermotif kayu. Dia lalu mengalihkan pandangan pada ponsel yang digenggamnya. Layar ponselnya menampilkan gambar bangunan sederhana yang didominasi warna coklat dan hijau. Kedua manik di balik kacamatanya itu lalu kembali menatap papan kayu.

Leaves.

Tulisannya sama persis seperti yang ada di layar ponsel.

Jadi ini tempat yang dimaksud Kaede dan Momiji..., pikir Sho sebelum akhirnya memutuskan untuk mendorong pintu kaca dengan sebelah tangannya yang bebas.

Denting furin menyambut Sho begitu pintu kaca terbuka setengah. Sesaat sebelum pemuda itu kembali menundukkan pandangannya, ia sempat menangkap beberapa tatap yang tertuju ke arahnya. Tak lama, sahutan-sahutan selamat datang menyapa dirinya dengan penuh keramahan.

Gerakan tangan pemuda itu terhenti. Ragu apakah ia akan terus mendorong pintu kaca dan melangkah masuk ke dalam atau kembali menarik tangannya dan pergi dari tempat itu. Hanya satu alasan yang membuatnya ingin melarikan diri; dia tak suka jadi pusat perhatian.

"Ah, Onii-san! [11]"

Suara yang terdengar familier itu pada akhirnya membuat Sho otomatis mengangkat kepala. Dilihatnya seorang gadis berkuncir dua dengan jepit rambut berbentuk daun maple di salah satu sisi kepalanya. Gadis itu memakai seragam pelayan berwarna hijau yang dipadukan dengan rok coklat dan apron pendek berwarna ivory. Jahitan logo Leaves dan nama sang pelayan tercetak pada bagian dada seragam—Momiji.

Seorang gadis lain yang sedang melayani pelanggan, menoleh ke arah pintu masuk begitu mendengar suara Momiji. Gadis dengan bordir nama 'Kaede' di seragamnya itu lalu menghampiri Sho yang masih mematung di pintu masuk.

"Sudah kuduga kau akan datang. Silakan, silakan. Aku dan Momiji berani bertaruh kau pasti suka tempat ini, Onii-san."

Membuktikan ucapan Kaede yang penuh keyakinan, lantas dipandangi Sho interior seisi ruangan. Beberapa meja dan kursi kayu tersebar di seluruh ruangan. Buku dengan berbagai macam warna dan ukuran disusun rapi dalam rak-rak yang menempel di setiap sisi ruangan. Di salah satu sudut, ada sebuah area lantai berlapis tatami [12]. Beberapa pengunjung tampak sedang memeluk bantal empuk seraya duduk bersila. Mereka duduk membentuk lingkaran, terlihat begitu serius mendiskusikan sesuatu.

Segaris lurus dari arah pintu masuk, terdapat meja bar kayu beratap yang disematkan logo Leaves pada bagian atasnya. Seorang pelayan berdiri di balik meja seraya membuat minuman. Sebuah mesin kasir diletakkan di ujung meja. Cangkir-cangkir cantik berjajar pada rak yang posisinya berada di belakang meja bar, sementara beberapa kursi kayu tinggi diletakkan di sisi sebaliknya. Dua dari lima kursi itu diduduki oleh seorang pemuda dan seorang wanita.

Di sudut lainnya, ada sebuah tangga yang mengarah ke lantai atas—yang tampaknya tak digunakan untuk umum karena tepat di depan anak tangga pertama, ada papan bertanda 'Staff only'. Seluruh ruangan didekorasi dengan tanaman, dedaunan, dan bunga palsu, memberikan kesan natural dan alami yang benar-benar kental.

"Hm." Sho mengangguk singkat. "Aku suka."

"Ara. Apa kita kedatangan pelanggan baru?" Sebuah suara lain datang dari arah belakang Kaede dan Momiji. Suara itu milik pelayan yang tadi dilihat Sho sedang berdiri di balik meja bar. Dia adalah seorang wanita muda dengan tatapan dan senyum yang hangat, tetapi misterius. Begitulah kesan pertama Sho ketika melihatnya.

Kaede menoleh, kemudian mengangguk singkat. "Benar, Michika-san. Dia ini kakak Momiji dan aku. Kami yang memintanya datang ke sini."

Ekspresi terkejut tercetak jelas pada wajah Michika. "Benarkah? Aku baru tahu kalau kalian punya kakak. Omong-omong, selamat datang di Leaves." Ekspresi terkejutnya hilang dan digantikan oleh sebuah senyum ketika mengatakan kalimat terakhir.

"Namaku Akazawa Sho. Terima kasih telah menjaga adik-adikku." Sambil membungkuk sedikit, pemuda itu mengenalkan dirinya dengan singkat.

Dengan senyum yang masih merekah, Michika kembali berbicara. "Aku Michika. Senang bertemu denganmu." Ia membuka telapak tangan dan menunjuk ke arah samping. "Nah, silakan pilih tempat duduk yang kau suka."

"Ingin memesan sesuatu, Onii-san? Kami menjual pai apel dan teh apel," kata Momiji, langsung menyebutkan menu yang ia yakin pasti disukainya kakaknya.

Cengiran salah tingkah tercetak di wajah Sho karena Momiji menebak kudapan kesukaannya dengan tepat. "Baiklah...."

Momiji, Kaede, dan Michika kemudian berpencar, kembali pada tugas mereka masing-masing. Sho mengedarkan pandangan ke sekeliling, mulai memindai dan mengeliminasi tempat-tempat yang menurutnya kurang nyaman. Di pojok sana ada segerombolan gadis. Di sebelah meja kumpulan gadis itu berturut-turut ada seorang pengunjung berseragam kantor, sepasang kekasih, lalu seorang ibu dan anaknya yang sudah remaja. Baiklah. Dia harus mencari tempat lain.

Area tatami... ah. Sho langsung mengurungkan niatnya begitu mengingat gerombolan mahasiswa yang sedang berdiskusi di sana.

Tatapan Sho beralih pada kursi di depan meja bar yang masih diisi oleh seorang wanita dan seorang pemuda. Tereleminasi.

Kalau begitu....

Sho memutar kepala, menoleh ke arah sisi lain kafe. Ada satu pelanggan pria yang beranjak. Pria itu meninggalkan sebuah cangkir kosong di atas meja. Dari arah langkahnya, Sho menebak bahwa pria itu berjalan ke arah pintu. Dengan kata lain, Sho bisa menempati meja itu sekarang.

"Terima kasih! Silakan datang kembali!" Telinga Sho menangkap suara Momiji yang mengucapkan kalimat untuk si pria yang baru saja keluar dari kafe.

Melihat senyum ramah yang ditampilkan sang adik, Sho menertawakan dirinya sendiri di dalam hati. Momiji yang sejak kecil dikenal Sho sebagai gadis pemalu, kini sudah mulai berani mendobrak zona nyamannya dan berusaha berinteraksi dengan orang asing. Lain halnya dengan Kaede yang memang tipe gadis supel.

Meski kakak beradik, Sho merasa dirinya begitu berbeda dengan Kaede dan Momiji. Bukan hanya soal sifat, tetapi juga dunia dan kegiatan mereka sehari-hari. Bukan berarti Sho membenci dirinya sendiri, hanya saja, terkadang ada sedikit perasaan iri sekaligus bangga pada adik-adiknya.

Sho menghela napas. Bagaimanapun juga, dia hanyalah seorang kutu buku yang hawa keberadaannya sulit terdeteksi orang lain. Tidak seperti Momiji, saat ini Sho belum berpikir untuk membuka benteng pertahanannya kepada orang asing. Hanya orang-orang terpilih saja yang ia izinkan masuk dan singgah di sana.

Setelah mendudukkan diri pada kursi kayu, mata Sho beralih pada rak buku di sebelah kirinya. Sho tertegun sejenak, merasa tak asing dengan salah satu judul dan nama penulis yang tercetak vertikal pada punggung buku yang tersusun di rak.

Harry Potter and the Philosopher's Stone

J. K. Rowling

Matanya berpindah pada punggung buku lainnya. Buku lain dari seri Harry Potter, lalu The Lord of The Rings, Alice's Adventure in Wonderland, dan masih banyak lagi. Judul buku-buku tersebut tertulis diikuti oleh nama novelisnya masing-masing.

Sho menarik salah satu buku secara acak, lalu dibukanya halaman pertama.

Dua manik di balik kacamata itu terkesima ketika mendapati tanda tangan J. K. Rowling yang tertulis pada halaman pertama buku. Sho membalik halaman. Dia menelan ludah begitu melihat huruf-huruf latin yang tercetak di sana. Novel yang dipegangnya ini berbahasa Inggris, bukan hasil translasi ke bahasa Jepang seperti yang dipikirkan Sho sebelumnya.

Sho melirik rak buku di hadapannya dan dia menemukan tulisan 'Fantasy Novel Collection: Original Version' yang disematkan pada bagian atas rak. Ah. Rupanya begitu. Jika ada original version, pasti ada pula translated version.

Sho berpikir bahwa si pemilik kafe pastilah berhati dermawan, karena dia mau meminjamkan koleksi buku-buku bertanda tangan edisi terbatas miliknya kepada pengunjung kafe—yang bahkan mungkin tak dikenalnya—secara cuma-cuma. Kalau Sho tak salah mengingat, ia yakin tempo hari Kaede mengatakan bahwa pengunjung tak perlu membayar untuk membaca koleksi buku di Leaves.

Seketika, Sho menemukan satu alasan lain yang membuat rasa sukanya pada kafe bernama Leaves itu naik satu tingkat.

"Omatase [13], Onii-san."

Suara Kaede membuyarkan pikiran Sho. Aroma manis sekaligus sepat langsung menggelitik indera penciuman Sho begitu sepiring pai apel dan secangkir teh apel hangat disajikan Kaede di hadapannya. Gadis itu lalu membereskan cangkir bekas pengunjung sebelumnya dan mengelap meja.

"Oh ya, aku dan Momiji sudah membayarnya untukmu."

Sho terbelalak kaget. "Eh? Kalian tak perlu melakukannya—"

"Onii-san, kami ini adikmu, tahu. Tak usah kaku begitu." Kaede menyela. "Anggap saja kami mentraktirmu karena kami yang memintamu kemari."

"Uhm, baiklah." Sho mengalah. Dia lalu teringat pada sesuatu yang dipikirkannya beberapa saat lalu. "Omong-omong, Kaede, apa pengunjung perlu membayar jika ingin membaca koleksi buku di sini?" tanyanya, sekadar ingin kembali memastikan.

Kaede menggeleng, tetap menjawab meski ia merasa sudah pernah menjelaskan tentang hal itu pada sang kakak. "Tidak. Hanya saja, pengunjung tak boleh membawanya keluar dari kafe."

"Ah, begitu." Sho mengangguk maklum. Pandangannya lalu beralih pada teh yang ada di cangkir. "Lalu, bagaimana jika pengunjung tak sengaja mengotori buku?"

Kaede mengangkat satu telunjuknya. Keningnya tampak berkerut seolah berusaha mengingat sesuatu. "'Buku yang memiliki bekas noda dan lipatan pada halamannya menandakan bahwa buku tersebut sudah pernah disentuh dan dibaca'." Gadis itu melempar senyum pada sang kakak. "Begitulah yang dikatakan Suzuha-san, sang pemilik Leaves."

Sho kembali menemukan hal lain yang membuat rasa sukanya pada Leaves naik satu tingkat lagi.

Pemikiran yang bijaksana, batin Sho.

"Ada lagi yang ingin kau ketahui, Onii-san?"

"Ah, sudah cukup...," kata Sho. "Maaf sudah mengganggu pekerjaanmu, Kaede."

"Suzuha-san bilang, menjawab pertanyaan pengunjung juga termasuk pekerjaanku," balas Kaede. "Tapi, kalau kau sudah selesai bertanya, aku akan mengurus pekerjaan lainnya. Sampai nanti, Onii-san."

Sho mengangguk, memandangi punggung Kaede yang berjalan ke arah meja bar, bergabung dengan Momiji, wanita muda yang mengenalkan diri sebagai Michika, seorang pemuda, juga seorang wanita muda lainnya yang sebelumnya sudah ada di sana. Momiji, Kaede, dan Michika tetap melakukan pekerjaan mereka seraya berbincang dan sesekali tertawa bersama kedua orang lainnya yang duduk di kursi bar. Di mata Sho, mereka berlima terlihat akrab.

Aroma kudapan yang sejak tadi sudah tersedia di hadapan Sho merangsang perutnya berbunyi. Sho refleks menundukkan kepala seraya memeluk perut, berharap dengan itu bisa meredam suaranya. Dia bisa merasakan ada hangat yang menjalar pada wajahnya. Pemuda itu segera memutuskan untuk melahap kudapannya, sebelum perutnya kembali mengeluarkan bunyi yang memalukan.

Begitu rasa apel meleleh di lidah Sho, sebuah bayangan mendadak muncul dalam benaknya.

Ia melihat sebuah meja makan bundar. Lima orang duduk mengitari meja. Beberapa makanan manis tersaji di atas meja. Kelima orang itu bercakap-cakap. Dialog demi dialog mereka mengalir dalam kepala Sho.

Tak ingin kehilangan bayangan tersebut, Sho segera membuka laptopnya. Laptop yang sebelumnya sudah diatur dalam mode sleep meminta kata sandi. Setelah mengetikkan kata sandi, layar berganti menampilkan aplikasi pengolah kata. Seketika, Sho menumpahkan semua imajinasi yang muncul di benaknya ke dalam bentuk tulisan. Jemarinya bergerak di atas keyboard dengan lancar.

Sementara itu, Kaede yang ada di balik meja bar, mencuri pandang ke arah Sho yang tampak sedang menaruh konsentrasi penuh pada apapun yang sedang dikerjakannya saat itu. Gadis itu tersenyum.

***

Satu hari sebelumnya....

"Ohayou [14], Onii-san—eeeh! Apa kau baik-baik saja?!"

Sho yang baru saja menuruni tangga, menoleh pada adiknya yang menyapa di bawah sana. Pemuda itu menguap lebar, "ohayou, Kaede...," sebelum membalas sapaan adiknya dengan lemas.

"Onii-san! Kau sungguh baik-baik saja? Lagipula aku Momiji, bukan Kaede." Momiji memandangi wajah kakak lelakinya yang tampak lusuh dengan cemas. Kantung mata Sho membengkak. Warna kehitaman muncul di sekitar matanya. Rambutnya berantakan, helaiannya mencuat melawan gravitasi.

"Aku... baik-baik saja...," balas Sho dengan suara serak. Dia menuruni satu anak tangga, yang sialnya tak terpijak oleh telapak kakinya.

GUBRAK!

Sho terpeleset, jatuh tersungkur dengan posisi hidung menyentuh lantai.

Momiji berjongkok, mengguncang-guncang pundak Sho. "Onii-saaan!"

Sho memutar kepala, memperlihatkan wajah menyedihkannya pada Momiji. Gadis itu bisa melihat sebuah gundukan kemerahan yang muncul di dahi Sho, serta setetes cairan kental merah yang keluar dari hidungnya. Sambil memaksakan sebuah senyum, Sho mengangkat jempol.

"Daijoubu desu." [15]

Detik selanjutnya, mata Sho terpejam begitu saja. Dia pun kehilangan kesadarannya.

"O-Onii-saaan! Banguuun!" Ditepuknya pipi Sho, yang rupanya tak memberi efek apapun. Jantung Momiji mulai berdegup semakin cepat. Dengan panik, dia berteriak memanggil. "Kaedeee! B-Bagaimana ini?! Apa yang harus kulakukan?!"

"Ada apa, Momiji—whoa! Onii-san! Apa yang terjadi?!"

***

Setelah menggotong tubuh sang kakak yang tak sadarkan diri ke kamarnya di lantai dua, Momiji dan Kaede mengembuskan napas serentak.

Kaede mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar Sho. Layar laptop yang masih menyala menampilkan sebuah aplikasi pengolah kata. Ponsel yang tergeletak di samping laptop menampakkan pesan masuk yang dikirim oleh seseorang dengan nama kontak 'Editor-san'. Lalu, beberapa kaleng-kaleng kopi kosong berserakan di bawah meja.

"Onii-san dikejar deadline." Kaede menyimpulkan.

"Eh? Pantas saja akhir-akhir ini Onii-san terlihat seperti sedang banyak pikiran," sahut Momiji murung. "Aku ingin membantunya, tapi tak tahu harus berbuat apa...."

Kaede mengelus dagu, tampak berpikir. Dipandanginya kaleng-kaleng kopi yang berserakan.

Kopi. Kafe....

"Ah. Momiji, apa kau punya foto Leaves?"

***

"Syukurlah." Momiji yang sedang berdiri di sebelah Kaede, ikut memandang ke arah kakak lelakinya itu. "Kerja bagus, Kaede."

Kaede memamerkan cengiran sambil membuka telapak tangannya ke arah Momiji. Momiji balas menepukkan telapak tangannya sambil tersenyum.

"Wah, wah. Sepertinya ada rahasia yang hanya diketahui anak kembar ya," celetuk Michika.

"Enaknya punya saudara... Aku juga ingin." Pemuda yang duduk di depan meja bar menopang dagu seraya memajukan bibirnya.

"Oh. Jadi begitu. Kau sering kemari karena kesepian. Kasihan sekali, anak muda." Wanita yang duduk di sebelahnya mengomentari.

"Suzuha-san, hidoi na.... [16]"

Tawa Momiji, Kaede, dan Michika mengudara bersamaan.

Sementara itu, sang pemuda berkacamata yang sedang terpaku menatap layar berseru heboh dalam hati, sangat berbeda dengan apa yang ditampakkan pada wajahnya.

Yossha! Yosshaaa! Aku melakukannya! Aku bisa melanjutkan naskahku! Kemampuan menulisku telah kembali! Arigatou, Kaede, Momiji!

Tanpa sadar, sebuah senyum lebar tercetak pada wajah Sho.

Arigatou, Leaves!

***

Leaves #3: Dikejar Deadline

End

***

Glossary:

[11] Kakak (laki-laki)

[12] Tikar tradisional Jepang yang dibuat dari jerami yang ditenun

[13] Maaf membuatmu menunggu

[14] Selamat pagi

[15] Aku baik-baik saja

[16] Jahatnya

Thanks for reading!

Comments


© Copyright
© Copyright
Vee
(ヴィー)

I write. I read. I paint. I rant sometimes.

Basically just pouring out my mind into words in my spare times.

© January, 2019-2021

bottom of page