top of page

Leaves #2: College Student

  • Writer: Vee
    Vee
  • May 12, 2019
  • 8 min read

Updated: Mar 30, 2021

Ting! Ting!

"Irasshaimase!" [4]

Denting furin yang disertai seruan ramah bersahut-sahutan itu menyambut begitu Sho mendorong pintu kaca Leaves. Sho memutuskan untuk berdiri sejenak di dekat pintu dan menarik napas dalam-dalam. Buku, teh, kopi, dan pewangi ruangan beraroma lavender. Perpaduan yang sempurna bagi seorang Akazawa Sho.

"Oh, Akazawa!" Riku yang duduk tak jauh dari pintu masuk, melambaikan tangan. "Mengejar deadline lagi?" Ia bertanya ketika dilihatnya Sho menenteng sebuah komputer jinjing.

"Begitulah," balas Sho singkat. Karena Leaves kedatangan cukup banyak pelanggan hari ini, pemuda berkacamata itu memilih untuk duduk di meja yang sama dengan Riku. Sho membuka layar laptop dan membangunkan mesin itu dari keadaan sleep.

"Heee...." Seraya mengangguk-angguk, Riku merogoh saku untuk mengambil ponsel. Dia menekan-nekan sesuatu di layar dan bersenandung lirih.

Melihat sikap santai Riku, Sho mendelik curiga. Belakangan ini, Riku selalu mengeluh padanya soal tugas akhir yang kunjung selesai. Dan di hari Minggu ini, hari ketika seharusnya Riku bisa menggunakan waktu untuk menyelesaikan penelitiannya, pemuda itu malah bersantai di Leaves.

"Bagaimana kabar tugas akhirmu?"

"OHOK—" Riku yang sedang meneguk kopinya, seketika tersedak. "Uh, kalimat itu terlalu sakral untuk dilontarkan pada hari Minggu yang cerah ini...," ucap Riku setelah batuknya reda.

Sho menyipitkan mata. "Kalau begitu, tolong jangan ganggu aku dengan keluhanmu." Kemudian jemarinya mulai bergerak di atas keyboard untuk mengetikkan huruf demi huruf yang nantinya akan menjadi sebuah novel.

"Jadi novelis itu sulit ya."

Sho tidak menanggapi.

"Omong-omong, Akazawa."

Bola mata Sho tetap terpaku pada layar.

Riku mengembuskan napas pasrah. "Baik. Aku menyerah." Pemuda itu beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan Sho yang sibuk berkutat dengan laptopnya. Ia lalu duduk di salah satu kursi di depan meja bar. Berjarak dua kursi dari Riku, ada Suzuha yang sedang menatap layar ponsel dengan mata berbinar-binar, meski raut wajahnya tetap sedatar papan nama kafe miliknya.

Bermodalkan rasa ingin tahu, Riku mencondongkan badan, mengintip dari balik pundak Suzuha.

Aaron S. O'Shelley Sebut Sedang Garap Naskah 'Spire of Glory 4'

Rupanya itu judul artikel yang membuat mata Suzuha berbinar-binar.

Spire of Glory. Riku sering mendengarnya dari celotehan Suzuha. Itu adalah novel bergenre fantasi favorit Suzuha, karya seorang novelis dengan nama yang, menurut Riku, aneh dan sulit diucapkan. Ketika buku-buku lainnya dikelompokkan berdasarkan jenis, novelis itu memiliki rak bukunya sendiri di Leaves. Semua novel karya Aaron S. O'Shelley yang tersedia di Leaves dilengkapi dengan tanda tangan sang penulis.

"Aku harus mendapatkan tanda tangannya lagi. Aku harus jadi orang pertama yang memilikinya. Aku akan beli novel ini sebanyak mungkin." Tanpa memedulikan kehadiran Riku, Suzuha mulai mengoceh.

"Aku heran, kenapa semua orang bisa suka buku berat dengan lembar halaman lebih dari enam ratus—"

"Orang yang tak mengerti sastra sepertimu diam saja." Suzuha memotong. Kedua matanya mendelik tajam ke arah Riku.

Tawa kecil seseorang menginterupsi pembicaraan Riku dan Suzuha. "Kalau Aizawa-san tidak suka membaca buku, mengapa sering datang kemari?" Gadis berkuncir dua yang sedang menggiling biji kopi di balik meja bar, bertanya.

Satu sudut bibir Riku terangkat ke atas, membentuk sebuah senyum yang aneh. Diliriknya Suzuha yang sudah kembali memandangi layar ponsel dengan mata berbinar. Tawa garing lolos dari bibirnya beberapa detik terlambat. "Soal itu...,"

***

"Three, two, one... Go!"

Tepat saat hitungan mundur selesai, kaki Riku mulai bergerak untuk mendorong skateboard. Pandangannya tetap fokus ke depan, sementara satu kakinya berkali-kali diangkat lalu dipijakkan ke tanah demi menambah kecepatan laju skateboard-nya.

"Kali ini aku tak akan kalah darimu!"

Seorang pemuda lain yang sedang menjadi lawannya berseru. Skateboard-nya bergerak zigzag di depan Riku dengan lihainya.

"Cih. Lihat saja nanti!"

Tak mau kalah, Riku lantas berusaha menyalip kembali pemuda yang sedang tertawa-tawa di depannya itu.

Selanjutnya, semuanya terjadi begitu cepat.

Seekor kucing yang melompat dari arah samping membuat konsentrasi Riku pecah seketika. Dia pun kehilangan keseimbangan dan jatuh berguling-guling. Riku mendengar bunyi pecahan di balik punggungnya yang disertai rasa perih di beberapa bagian tubuhnya. Entah benda apa yang ada di belakangnya, tetapi benda itu berhasil menahannya untuk tidak berguling lebih jauh lagi.

"Ite—" [5]

Dengan bantuan kedua tangan, Riku berusaha bangkit dari posisinya. Ia lalu mendapati kepingan-kepingan pot tanah liat serta tanah dan bunga yang berserakan di sekitarnya. Skateboard biru kesayangan Riku tergeletak tak jauh darinya dengan posisi terbalik. Detik selanjutnya, Riku mendengar pintu kaca yang dibuka. Dua orang wanita muda keluar dari sana dan salah satunya berjongkok di dekat Riku.

"D-Daijoubu desu ka?" [6] Sorot mata sayu itu terlihat cemas. Riku lalu mengubah posisi menjadi duduk. "Kau terluka," ucap wanita itu tepat saat Riku melihat ke arah tulang keringnya yang lecet dan berdarah di beberapa tempat. Saat itu terlintas dalam pikiran Riku, seandainya pagi ini dia memilih celana yang lebih panjang, mungkin lukanya tak akan separah ini.

Meski begitu, senyum salah tingkah tercetak pada wajah Riku. Dia menggerakkan kedua tangannya tanda menolak. "Ah, tidak, aku tak apa—"

"Bawa saja dia masuk." Wanita muda lainnya yang sejak tadi hanya diam menyaksikan, akhirnya angkat bicara. Dia lalu berbalik dan masuk ke dalam... sebuah toko, sepertinya? Riku sendiri tak yakin meski ia sudah berulangkali melalui jalan di depan bangunan itu.

Wanita yang berjongkok di sebelah Riku lantas mengulum senyum. Saat itu, Riku melihat nama yang terbordir di bagian dada kanannya. Michika. "Ayo. Kau bisa berdiri?"

Riku mengangguk. Ia meraih skateboard-nya, lalu mengekori wanita itu masuk ke dalam toko—oh. Ini kafe. Riku menyadarinya begitu penglihatannya menangkap seisi ruangan. Beberapa mata pengunjung terarah padanya dengan sorot penasaran. Tanpa memedulikan semua itu, Riku tetap berjalan mengikuti dengan langkah yang sedikit terseok.

"Nah, duduk di sini." Wanita bermata sayu yang sepertinya memiliki nama Michika itu kembali tersenyum seraya menepuk bangku. Riku menurut. Disandarkannya skateboard di samping, lalu memerhatikan apa yang dilakukan wanita itu di meja seberang sana. Tak lama kemudian, Michika kembali sambil membawa kotak P3K. Ketika ia menuangkan obat pada kasa dan hendak mengoleskannya pada lutut Riku, Riku spontan menghindar. Entah mengapa, dia bisa merasakan pedih meski kasa itu belum menyentuh kulitnya.

"Uh, tak apa, aku bisa melakukannya," kata Riku seraya memasang cengiran, yang justru membuat raut wajahnya terlihat tak yakin.

Namun, walau Michika memahami ekspresi Riku, dia tetap memberikan kasa yang sudah dilumuri obat itu pada Riku. Riku mengambilnya. Ia menelan ludah sebelum mulai menempelkannya pada luka terbuka di lututnya. Raut wajah Riku seketika berubah masam karena menahan rasa sakit.

Tawa geli lolos dari bibir Michika. "Butuh bantuanku?"

Riku menggeleng. "Aku bisa melakukannya," ucapnya dengan ekspresi wajah yang semakin masam.

"Hm. Baiklah." Michika duduk di sebelah Riku, membiarkan lelaki itu membersihkan lukanya sendiri. Pandangan Michika lalu tertuju pada plester berwarna coklat yang tertempel di pipi kiri Riku. "Kau ini... apa sudah sering terluka seperti itu?"

Riku berpikir sejenak sebelum menjawab. "Hm... Tidak juga. Biasanya konsentrasiku langsung hilang jika ada kucing yang tiba-tiba lewat. Aku suka kucing, jadi lebih baik aku saja yang terluka."

Jawaban polos itu membuat Michika tak bisa menahan untuk tak tersenyum. "Heee... Kucing ya." Michika mengangguk-angguk. "Kupikir plester di pipimu dan di dekat dagumu itu juga karena luka yang seperti ini."

Semburat merah mendadak muncul pada seluruh wajah Riku. "Tidak... Ada alasan lain untuk ini," sahutnya lirih.

Michika tak membalas lagi. Dia merasa tak perlu untuk menanyakan alasan pribadi lelaki itu. Riku pun meneruskan membersihkan lukanya dengan hati-hati.

Sebenarnya, ada satu hal lain yang membuat Michika penasaran sejak tadi. Waktu masih menunjukkan pukul 10 pagi di hari Rabu. Angka kalender pada hari ini pun tak menunjukkan berwarna merah. Tetapi mengapa lelaki ini berkeliaran dengan skateboard-nya? Bukankah seharusnya ia sedang berada di sekolah? Atau ia memang tak sekolah? Atau sedang bolos?

Didorong rasa penasaran, akhirnya Michika pun memutuskan untuk bertanya. "Kalau aku boleh tahu, di mana kau bersekolah?"

"Ichidai. Tak jauh dari sini," jawab Riku to the point. "Ah, kebetulan hari ini dosenku membatalkan jadwal kuliah."

Michika tertegun sejenak. "Ichidai?" ulangnya.

Riku menoleh, lalu mengangguk sekali. "Ichinomiya Daigaku. Universitas swasta, hahaha. Mungkin kau tak kenal namanya ya."

"Eh, bukan... bukan itu maksudku. Ahahaha. Ichidai ya...." Michika menyahuti Riku dengan gagap.

Ichidai. Ichinomiya Daigaku. Universitas. Pikirannya terasa mengganjal bukan karena ia tak mengenal nama universitas yang disebutkan Riku. Michika mengenal baik Ichidai karena ia punya satu kerabat dekat yang dulu berkuliah di sana. Hanya saja....

Michika memutar kepala ke arah lain, tidak ingin Riku melihat ekspresi kagetnya.

YA AMPUN. KUPIKIR DIA MURID KELAS 1 SMA!!!

Ada hening yang cukup lama mengisi percakapan mereka, hingga akhirnya Riku selesai menutup luka-lukanya.

"Hei, anak muda."

Suara lain datang dari arah depan Riku ketika akhirnya pemuda itu selesai memasukkan kembali botol-botol obat ke dalam kotak P3K. Riku mendongak. Wanita lainnya yang berwajah datar itu berdiri di hadapannya seraya berkacak pinggang.

Jantung Riku mencelos. Jika dibaca dari raut wajahnya, Riku menebak bahwa dirinya pasti akan dimarahi dan dimintai ganti rugi. Ah. Jatah uang jajan untuk bulan ini sudah habis ia gunakan. Matilah ia. Kalau sudah begini, Riku mungkin harus berpuasa selama dua minggu ke depan sampai ayahnya kembali mentransfer uang untuk bulan berikutnya—

"Lain kali kau harus berhati-hati."

Ucapan tanpa nada marah itu membuat otak Riku mendadak bekerja lebih lambat dari biasanya.

Eh?

Wanita itu kemudian berbalik dan meninggalkan Riku yang kini mematung keheranan.

"Kau beruntung karena jatuh di depan kafe milik Suzuha."

"... Hah?"

Ditepuk Michika sebelah pundak Riku. "Ma, ma, kinishinaide. [7] Kau bisa pulang setelah ini."

"Memangnya tidak apa-apa?" tanya Riku, masih keheranan. Bukannya ingin dimintai ganti rugi, hanya saja, Riku jadi merasa tak enak hati.

"Kau sudah dengar sendiri dari pemilik kafe ini."

Riku kehabisan kata-kata. Sudah ditolong seperti ini, juga tak dimintai ganti rugi apapun, Riku benar-benar jadi ingin melakukan sesuatu untuk membalas. Dia pun memutar otak. "Kalau begitu, biarkan aku membereskan pecahannya."

Michika mengalihkan pandangan ke arah depan bangunan kafe. "Kupikir kau tak perlu melakukannya."

Riku mengikuti arah pandang Michika. Bagian depan kafe sudah bersih dan rapi seperti sedia kala. Pecahan pot beserta bunga dan tanah yang tumpah sudah dibereskan, bahkan telah diganti dengan pot bunga yang baru.

Riku terbelalak kaget. Sejak kapan...?

"Tampaknya Suzuha sudah membereskannya ketika kau sibuk membersihkan lukamu."

"Eeeh?! Pemilik kafe yang melakukannya?!" Kali ini, Riku tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

Michika beranjak, diambilnya kotak P3K yang diletakkan Riku di dekat kakinya. "Kau bisa pulang kalau kau mau." Michika berjalan ke arah lain untuk menyimpan kembali kotak P3K, lalu berbicara dengan Suzuha yang sejak tadi duduk di sana sambil membaca sebuah novel.

Riku berjalan cepat menghampiri dua wanita itu. Ia melakukan ojigi [8] kepada Michika dan Suzuha sedalam mungkin.

"ARIGATOU GOZAIMASU! [9] AKU AKAN JADI PELANGGAN SETIA KAFE INI!" Riku berseru sepenuh hati dengan suara yang cukup lantang. Tak peduli bahwa teriakannya menarik perhatian para pengunjung yang lain.

Masih dengan ekspresi datarnya, Suzuha mengangkat satu telapak tangan tanda mendengarkan. Sementara itu, Michika melempar senyum dan melambaikan tangan.

Sambil menjinjing skateboard-nya, Riku melangkah ke arah luar kafe. Benar saja. Bekas kekacauan yang dibuatnya di depan kafe sudah hilang tak berbekas. Ia mendongak ke atas, membaca nama kafe yang terukir di papan kayu.

Leaves.

***

"Begitulah, Momiji-chan," kata Riku di akhir ceritanya. "Aaah, tapi aku bersyukur bisa mengenal Leaves."

Momiji, si gadis berkuncir dua, termangu setelah Riku menyelesaikan kisahnya. Ada rasa hangat yang muncul menyelimuti hati Momiji. Itu pasti efek dari ketulusan hati sang pemilik kafe tempatnya bekerja paruh waktu. Gadis itu melirik Suzuha yang kini kembali mengoceh soal Aaron S. O'Shelley dan novel baru yang sedang dirampungkan oleh sang novelis.

"Ahaha. Sepertinya sejak tadi dia tak mendengar ceritamu, Aizawa-san." Momiji berkomentar.

Riku ikut melirik wanita yang duduk berjarak dua kursi darinya itu. Seulas senyum terlukis di wajah Riku. "Dia tak perlu mendengarnya."

***

Omake/Bonus:

"Hei, Michika."

Michika yang sedang mengaduk kopi untuk dirinya sendiri, menoleh ke arah Suzuha yang memanggilnya. "Hm?"

Dengan mata yang tetap tertuju ke arah novel di tangannya, Suzuha kembali berbicara. "Bocah skateboard yang terluka tadi... menurutmu apa dia sedang bolos sekolah? Atau dia putus sekolah?"

Gerakan tangan Michika terhenti. Bibirnya membentuk sebuah senyum yang aneh.

Aah. Suzuha juga pasti salah mengira lelaki itu sebagai anak SMA.

Michika menoleh pada Suzuha, akhirnya menjawab pertanyaan temannya itu dengan tempo pelan. "Dia bilang... dosennya membatalkan jadwal kuliah hari ini...."

Novel di tangan Suzuha terlepas begitu saja bersamaan dengan kepalanya yang terangkat.

"NANIIIII?!?!?!" [10]

***

Leaves #2: College Student

End

***

Glossary:

[4] Selamat datang [5] Kanji aslinya adalah 痛い (itai) yang memiliki arti 'sakit' atau 'ouch!'. Tetapi Riku mengatakan いてっ (ite), yaitu semacam boyish version dari 痛い [6] Apa kau baik-baik saja? [7] Sudah, jangan khawatir [8] Membungkuk untuk menunjukkan rasa hormat [9] Terima kasih [10] Apa

Thanks for reading!

Comments


© Copyright
© Copyright
Vee
(ヴィー)

I write. I read. I paint. I rant sometimes.

Basically just pouring out my mind into words in my spare times.

© January, 2019-2021

bottom of page