top of page

DeathLine Side Story #2: Lecture Seating

  • Writer: Vee
    Vee
  • Apr 9, 2021
  • 6 min read


Jam yang melingkari pergelangan tangan Frederic menunjukkan pukul 1 siang tepat. Hari itu, masih ada satu mata kuliah lagi sebelum seluruh kegiatan kampusnya selesai hari ini. Mata kuliah umum Bahasa Inggris akan diadakan di aula seperti biasa, dan meski Frederic masih punya waktu kurang lebih 30 menit sebelum kelasnya dimulai, pemuda itu sudah tiba di aula.


Aula kampus Narawangsa International University yang besar itu memiliki 3 kelompok tribune yang dibagi menjadi sayap kanan, tengah, dan sayap kiri. Setiap kelompok memiliki 8 baris tempat duduk bertingkat yang setiap barisnya terdiri dari 10 kursi disertai meja lipat. Tempat yang diduduki Frederic terletak di bagian tengah, barisan kelima dari bawah, kursi nomor empat dihitung dari sebelah kanan. Bisa dibilang, tempat itu termasuk pusat aula yang tepat berhadapan dengan podium dosen di atas panggung. Dengan kata lain, tempat yang pada umumnya akan dihindari oleh tipe mahasiswa pemalas, tukang tidur, atau mahasiswa yang suka mencuri kesempatan untuk bermain game di ponsel.


Selain dirinya, ada 4 atau 5 orang lain yang sudah menempati bangku di baris pertama dan kedua. Frederic mengira mereka pasti tipe mahasiswa rajin yang ambisius. Meski Frederic bukan mahasiswa pemalas, tapi dia juga tidak termasuk ke dalam golongan mahasiswa ambisius itu. Dia hanya sengaja datang lebih awal dan menempati bangku yang letaknya cukup di depan demi menghindari seseorang. Atau dua orang.


Layar smartphone Frederic menyala. Satu notifikasi muncul disusul notifikasi lainnya.


Knucklehead Dumbass: ric makan gaa Toa: Gue sama dinan udah di kantin, sini geceeee [1]


Ini dia dua orang yang sedang dihindari Frederic. Ferdinand dan Karen, orang-orang di balik nama kontak Knucklehead Dumbass dan Toa—yang dengan sengaja diganti oleh Frederic—secara berurutan. Alasan Frederic menghindari mereka hanya satu: pemuda itu sedang butuh suasana baru.


Ferdinand adalah tipe yang mencuri kesempatan untuk bermain game selama kelas berlangsung, sementara Karen termasuk tipe yang akan mencari teman mengobrol lewat chat jika kuliahnya berubah membosankan. Memperkirakan kebiasaan mereka yang sebisa mungkin menjauh dari barisan-barisan terdepan demi menghindari jangkauan pengawasan dosen, Frederic yakin kalau dia bisa berpisah dari keduanya hari ini.


Frederic sendiri tak mengerti kenapa dia bisa selalu terjebak dengan dua orang itu sejak kecil. Sejak kecil, garis bawahi itu. Oke, dia memang tak bisa jauh-jauh dari Ferdinand karena pada dasarnya mereka adalah saudara kembar. Tapi kenapa dia bisa bertemu lagi dengan Karen yang bahkan pernah pindah rumah selama belasan tahun lamanya? Entah sejak kapan pula orang-orang melabeli Frederic, Ferdinand, dan Karen dengan julukan trio. Frederic sungguh tak mengerti kenapa Ferdinand dan Karen yang notabene ada di jurusan yang sama tak dijuluki sebagai duo. Siapapun, tolong beri tahu Frederic kesalahan apa yang pernah dilakukannya sampai-sampai dia 'dikutuk' harus selalu bersama dua orang itu.


Frederic tak sungguh-sungguh membenci Ferdinand dan Karen, dia hanya lelah secara emosi setiap kali berada di sekitar mereka. Mereka berisik dan seolah tak pernah kehabisan energi. And they freakin' share the same braincell [2]. Tolong. Frederic lelah.


Frederic mungkin memang seorang introvert, tapi bukan berarti dia tak punya teman selain keduanya. Karena itu, hari ini, di kelas mata kuliah umum Bahasa Inggris, Frederic sudah bertekad untuk tidak duduk bersebelahan dengan Ferdinand dan Karen.


Jemari Frederic bergerak mengetik balasan chat untuk Ferdinand dan Karen.


Eric Pradipta: g Eric Pradipta: udh d aula


Balasan tiba di ponsel Frederic beberapa detik kemudian.


Knucklehead Dumbass: lo salah liat jadwal apa gmn anjir Knucklehead Dumbass: masih set jam lagi kan? Toa: Idihhh mau jadi anak ambis lu ya skrg Eric Pradipta: sksk dong Knucklehead Dumbass: yaudah jagain tempat aja buat kita ya ric


Frederic hanya membaca pesan terakhir yang dikirim Ferdinand tanpa memberi balasan. Ia lalu menunggu dengan tenang sembari membaca e-book novel sains fiksi yang dibelinya tempo hari. Lima belas menit berlalu. Bangku-bangku di aula satu per satu mulai kedapatan penghuni. Anehnya, belum ada orang lain yang menempati barisan kelima di tribune kelompok tengah selain Frederic seorang.


"Ric. Eric."


Suara seorang gadis yang memanggilnya mengalihkan atensi Frederic. Gadis itu adalah Grace, teman satu jurusan Karen dan Ferdinand yang juga kenal dengan Frederic. Frederic penasaran kenapa gadis itu memanggilnya.


"Sendiri aja? Karen mana?" Grace bertanya.


"Masih di kantin. Kenapa?"


"Oh, ini punya Karen. Tadi ketinggalan di kelas." Sebuah kabel USB berwarna merah muda disodorkan pada Frederic. "Thanks, Ric."


Frederic mengangguk. Grace meninggalkan Frederic setelah menyerahkan kabel, menoleh ke kiri dan kanan seperti sedang mencari tempat yang masih kosong. Frederic lalu melihat gadis itu mengambil tempat duduk di bagian sayap kanan, pada kursi yang terletak di ujung luar barisan dekat tangga tribune. Selang satu kursi di sisi kanannya telah ditempati orang lain.


Frederic mengangkat alis, heran. Kalau dia memang tidak duduk bersama seseorang, kenapa harus repot mencari tempat lain? Padahal kursi di sisi kanan dan kiri Frederic jelas masih kosong sama sekali.


Semakin banyak mahasiswa yang datang ke aula, semakin pemuda itu merasakan kalau orang-orang sengaja memilih untuk duduk di bangku yang lain. Beberapa orang yang dikenal Frederic sempat bertegur sapa dengannya, sebagian besar diikuti pertanyaan basa-basi tentang keberadaan Ferdinand atau Karen. Tak ada satu pun yang menyapa dan berakhir duduk di dekat Frederic. Ia mulai berpikir, apa yang salah dengannya? Kenapa tak ada yang mau duduk bersebelahan, atau setidaknya di barisan yang sama dengan Frederic?


"Wah, udah rame. Mau di mana, nih?"


"Baris tengah masih ada yang kosong, tuh. Belakangnya Eric."


Sekelompok mahasiswa yang bercakap-cakap itu menaiki tangga tribune yang memisahkan bagian tengah dan sayap kanan, Frederic mengenal mereka sebagai teman-teman dari jurusan yang sama dengannya. Frederic tersenyum singkat tanda menyapa saat beradu pandang dengan salah satu dari mereka.


"Sini aja. Sebelah gue masih kosong semua, kok." Frederic memberi gestur ke arah deretan kursi di sebelahnya dengan dagu.


Ardhi, pemuda yang menjadi lawan bicara Frederic mengangkat alis. "Tumben? Nggak bareng Dinan sama Karen?"


Frederic buru-buru menggeleng. "Mereka nyusul."


"Em... Sori, Ric. Tapi kayaknya kita di belakang lo aja, deh." Carla, gadis yang datang bersama Ardhi, tersenyum meminta maaf.


"Gue di sini, deh. Nemenin Eric." Ardhi memutuskan setelah berpikir sejenak. Pemuda itu mengambil tempat tepat di sebelah kiri Frederic, sementara teman-teman Ardhi yang datang bersamanya mengisi kekosongan pada satu barisan di belakang Frederic.


"Dinan sama Karen masih ada kelas apa gimana?" tanya Ardhi.


"Nggak. Masih di kantin," jawab Frederic. Pemuda itu lalu berbalik menatap Ardhi. "Dari tadi gue heran. Setiap orang yang nyapa gue pasti nanyain si Dinan sama si Karen juga."


"Lho?" Ardhi balas menatap Frederic. "Justru gue juga tadi heran ngeliat lo tumben duduk sendirian. Biasanya kan, kalo lecture umum gini kalian trio duduknya sebelahan bertiga gitu."


"Hmm...." Frederic manggut-manggut. "Well, tadinya gue sengaja dateng duluan karena mau nyari suasana baru. Bosen sama mereka terus."


Ardhi tertawa. "Apalagi sama Dinan, ya? Dari sebelum lahir."


Frederic mengiyakan. "Bener banget, anjir. Tapi gue jadi heran sendiri kenapa nggak ada yang mau duduk di sini," katanya. "Emang, sih, tribune tengah baris keempat sama kelima itu nanggung. Tapi, kan...."


Ardhi mengangkat sebelah bahu. "Kalo yang males pasti milih agak atas atau paling atas sekalian. Kaum ngambis di depan. Zona aman sayap kanan sama sayap kiri. Di sini kursi sisa buat anak-anak telat, mungkin?" tebaknya.


Frederic tertawa. "Mungkin." Dia sendiri tak pernah datang terlambat dan tak pernah benar-benar menaruh perhatian pada kursi mana saja yang tersisa di detik-detik terakhir sebelum kelas dimulai. Ferdinand dan Karen juga tak pernah datang terlambat demi mendapatkan dua atau tiga barisan teratas yang selalu menjadi rebutan mahasiswa tertentu. Frederic sejujurnya tidak peduli jika seandainya kursi yang tersisa untuknya pun hanya kursi dosen. Selama dia bisa duduk, kenapa tidak? As simple as that.


Ferdinand dan Karen tiba di aula 3 menit sebelum kelas dimulai. Dari sudut matanya, Frederic mendapati keduanya berhenti sejenak di dasar tangga tribune. Ferdinand menunduk menatap ke arah ponselnya sementara Karen sibuk menyapukan pandang berkeliling. Layar ponsel Frederic berkedip beberapa detik setelah Ferdinand mengangkat kepala dari ponsel.


Knucklehead Dumbass: lo di baris mana @Eric Pradipta


Frederic memutuskan untuk tak acuh, kembali mematikan layar ponsel. Dengan sengaja ia memerosotkan tubuh, bersembunyi di balik punggung orang-orang yang duduk di baris-baris depan. Sialnya, dia tak sengaja beradu tatap dengan Karen, yang kemudian disambut oleh senyum sumringah, lambaian tangan, dan sebuah seruan. "Ooh! Itu dia, Eriiiic! Ardhi juga, halooo!"


"Shit." Frederic refleks melontarkan umpatan. Seruan Karen yang terdengar mencolok di antara riuh rendah aula membuat beberapa mata tertuju pada gadis itu. Meskipun bukan Frederic yang menjadi pusat perhatian, dia yang merasa malu. Hal-hal seperti inilah yang membuat Frederic jengkel. Pemuda itu kembali mengumpat dalam hati, semakin menenggelamkan tubuh di antara kursi dan meja lipat.


"Karen heboh banget seperti biasa." Ardhi terkikik, berkomentar ketika Karen menaiki tangga diikuti Ferdinand.


Karen lalu memasuki celah pada deretan bangku dan meletakkan tasnya pada kursi di sebelah kanan Frederic. "Tuh, kan, Nan! Gue bilang juga apa, Eric pasti udah jagain tempat buat kita!"


"Hah—"


Ferdinand ikut masuk, duduk di sebelah kanan Karen. "Tapi ini di tengah, Ren, anjir. Atas udah pada penuh semua. Lo, sih, makannya lama!"


"Siapa yang jagain—"


"Mending di sini, lah. Daripada paling depan?" Karen melempar cengiran pada Ferdinand, tak memedulikan Frederic yang hendak melontar protes tak setuju.


Sudut alis Frederic berkedut. Jengkel.


"Tapi di sini keliatan banget sama dosen, woy! Gimana gue mau mabar kalo gini?"


"Ya udah bolos aja sono. Bukannya makasih udah dijagain tempat sama Eric. Ya, kan, Ric?!"


"GATAU, ANJIR. BODO AMAT."


Memutuskan duduk di tempat ini adalah sebuah kesalahan. Seharusnya dia tak menyisakan tempat kosong di sebelah kanannya. Atau sekalian saja dia memilih kursi barisan terdepan. Tepat di hadapan dosen dan dikelilingi para mahasiswa ambisius. Ferdinand dan Karen pasti menolak duduk di sana.


"Lagi PMS ya, dia?" Karen bertanya pada Ferdinand, yang kemudian disahut dengan kedikan pada bahu.


Kedutan di alis Frederic berubah menjadi empat sudut siku-siku imajiner. Jarinya dengan geram menunjuk-nunjuk wajah Karen dan Ferdinand bergantian. "GUE MARAH GARA-GARA LO BEDUA. PERGI SONO. KE MANA, KEK. YANG JAUH POKOKNYA. KENAPA NEMPEL MULU SAMA GUE, SIH?!"


Karen dan Ferdinand kicep seketika.


"LAGIAN MANA BISA COWOK PMS, ANJRIT!"


Frederic memijat pelipis. Pening. Tolong akhiri kutukannya sekarang juga. Frederic lelah.


***


Side Story #2: Lecture Seating End


Happy birthday, Eric :)


***

Glossary [1] Gece: GC atau gerak cepat. Istilah slang saat meminta seseorang untuk segera melakukan sesuatu. [2] Share same braincell: istilah slang bahasa Inggris untuk menggambarkan dua orang yang sering melakukan (atau terlibat) hal bodoh dan konyol bersama-sama.


***


(c) Vee, 2021

Comments


© Copyright
© Copyright
Vee
(ヴィー)

I write. I read. I paint. I rant sometimes.

Basically just pouring out my mind into words in my spare times.

© January, 2019-2021

bottom of page