top of page
  • Writer's pictureVee

DeathLine Side Story #1: Urgent Situation


 

Ferdinand menatap nelangsa angka yang tertera pada kolom saldo rekeningnya. Rp43.750,00. Uang saku bulanan Ferdinand dan Frederic ditransfer oleh orang tua mereka ke rekening masing-masing setiap awal bulan dan tanggal pada kalender hari ini bahkan belum berubah menjadi dua digit. Masih tanggal muda. Namun, jumlah yang tersisa pada rekening Ferdinand sungguh menyedihkan.


Yah. Ferdinand tahu benar kalau itu murni kesalahannya. Kemarin malam, game yang sudah ditunggunya sejak berbulan-bulan lalu baru saja dirilis dan dia lepas kendali; secara impulsif membeli banyak in-game item dan berakhir dengan saldo rekening mengenaskan seperti itu. Miris, Ferdinand menghibur diri dengan berusaha berpikir kalau semua itu ia lakukan demi penggemar setianya. Ferdinand, atau yang lebih dikenal dengan nama LeonardoF sebagai seorang gamer dan content creator di dunia maya, memiliki kanal video yang digunakannya untuk streaming secara langsung dan berbagi review tentang game-game tertentu yang baru dirilis. Ferdinand termasuk salah satu yang tercepat dibandingkan gamer atau kreator lain, sehingga kontennya tentu menjadi yang ditunggu-tunggu oleh para penggemarnya setiap game tertentu dirilis.


Namun begitu, dalih 'demi penggemar setia' hanyalah sebuah penghiburan diri. Dia tak benar-benar melakukan semua itu demi penggemarnya, Ferdinand hanya seorang pemuda biasa yang menyukai game sampai kepada tahap rela menguras isi dompet dan saldo rekening. Ferdinand terkadang berpikir kalau apa yang dilakukannya itu bukan hal baik, tapi—


Nanti, kan, bakal balik modal lagi dari livestream sama konten yang gue upload.


—adalah hal yang selalu dipikirkan oleh Ferdinand. Yah. Pikiran itu tentunya adalah salah satu dari banyaknya dalih Ferdinand yang lain.


Mengingat kondisi keuangannya yang mengenaskan, Ferdinand hanya bisa bergantung pada Frederic kalau tak mau kelaparan di akhir bulan. Frederic punya agenda belanja bulanan ke supermarket yang terjadwal. Ferdinand juga jarang mendapati saudara kembarnya itu membeli makanan dari luar dan lebih sering memasak sendiri. Selain manajemen keuangan Frederic yang luar biasa, saudaranya itu juga pandai memasak. Dalam keadaan seperti ini, Ferdinand mungkin bisa meminta Frederic membuatkannya sesuatu untuk sarapan—


"Hah? Ogah."


Dia bahkan belum sempat benar-benar bertanya pada Frederic, tapi jawaban saudaranya sudah dapat dibayangkan oleh Ferdinand dalam imajinasi.


Perut Ferdinand berbunyi. Dia belum makan apapun sejak tadi malam. Pemuda itu menarik napas dan mengepalkan kedua tangannya, menetapkan tekad. Mulai hari ini, dia akan memasak seperti Frederic demi berhemat!


Ferdinand membuka lemari pendingin, mengelus-elus dagu sambil berpikir. Ada telur ayam, roti tawar dan selai, sayur-sayuran mentah, beberapa bungkus makanan olahan, daging yang dibekukan, dan rempah-rempah yang sama sekali tak bisa dibedakan Ferdinand antara satu dengan lainnya. Sebaiknya dia masak apa untuk sarapan?


Klik. Suara pintu kamar yang dibuka mengalihkan perhatian Ferdinand. Frederic keluar dari kamarnya dengan pakaian rapi, ransel yang disandang, serta tas kamera kecil yang disampirkan di bahu. "Nan, gue ke Bromo. Baliknya Minggu malem atau Senin pagi. Jaga apartemen, ya. Jangan dikotorin."


"Hah—" Otak Ferdinand lambat memproses. Ke Bromo? Sampai Minggu malam atau Senin pagi? Hari ini masih Jumat pagi. Itu artinya, Frederic akan meninggalkan Ferdinand selama kurang lebih 3 hari? Sendirian? Letak masalahnya memang bukan di situ, tapi... dia akan ditinggalkan sendirian dengan kondisi keuangan yang mengenaskan seperti ini?!


Itu bukan kali pertama Frederic pergi ke tempat jauh yang lokasinya berada di luar provinsi. Pada dasarnya, saudaranya itu memang rajin melakukan solo traveling. Sekarang Frederic juga tergabung dalam klub fotografi kampus yang—sepengetahuan Ferdinand—memiliki agenda ekspedisi alam setiap dua bulan sekali demi kepentingan hunting foto. Namun....


"Kok, tumben ngedadak gini?"


Frederic berhenti mengikat tali sepatu, lantas menoleh ke arah Ferdinand dengan alis berkerut. "Ngedadak? Kan tadi malem gue udah bilang. Pas lo lagi livestream."

Sebelah sudut bibir Ferdinand tertarik ke atas. Tawa ganjil lolos dari bibirnya. "O-Oh, iya juga ya...." Sejujurnya dia tak ingat soal itu. Yang ada di memorinya hanya Frederic yang mengetuk pintu dan dirinya yang menyahut seadanya tanpa benar-benar memerhatikan apa yang dikatakan Frederic.


"Gue berangkat."


"Ah. Um. Oke. Hati-hati."


Frederic pergi. Ferdinand berbalik ke arah lemari pendingin, menimbang-nimbang harus memasak apa untuk sarapannya pagi ini. Dia tidak tahu cara membumbui dan memasak daging, dia tak paham rempah-rempah, dia tak begitu suka sayur, dan yang paling penting—sejujurnya Ferdinand malu mengakui ini—dia takut dengan api kompor dan minyak panas.


Ferdinand mengangguk-angguk setelah memutuskan. Dia akan memilih yang paling mudah dan aman saja, roti tawar yang diolesi selai.


***


Hari sudah berganti, jam di kamar Ferdinand menunjukkan pukul 11 pagi. Ferdinand membidik karakter musuh melalui layar monitor sebelum melepaskan tembakan jarak jauh. Tembakan tepat sasaran pada kepala. Ferdinand berseru ketika tulisan winner yang disandingkan dengan nama timnya muncul pada layar monitor komputer.


Ferdinand melepas headphone saat perut malangnya sudah kembali berbunyi minta diisi. Selama seharian penuh kemarin, Ferdinand hanya mengandalkan roti selai untuk mengisi perutnya. Seluruh persediaan rotinya sudah habis.


Kecuali mau mati kelaparan, sepertinya dia harus memasak sesuatu untuk dimakan hari ini.


LeonardoF: afk [1] dulu guys, wait


Dalam keadaan mendesak seperti ini, biasanya Ferdinand akan memesan makanan melalui layanan pesan antar online. Namun, hal itu tidak memungkinkan mengingat jumlah uang bulanannya yang tersisa.


Ferdinand beranjak menuju dapur, kembali membuka lemari pendingin. Daging yang membutuhkan bumbu rempah-rempah, sayur yang tak begitu disukainya, dan roti yang hanya bisa mengganjal perut selama sesaat, otomatis tereliminasi. Pilihan yang tersisa hanya makanan olahan bungkusan dan telur ayam. Mengingat kebiasaan Frederic, terkadang saudaranya itu memasak telur dadar dengan potongan kecil bawang merah dan cabai untuk menu makan siang.


Ferdinand mengangguk-angguk penuh percaya diri. Kalau hanya telur dadar, dia pasti bisa memasaknya. Lagipula, kompornya di apartemen ini adalah tipe kompor yang menggunakan energi listrik tanpa ada api. Kekhawatirannya sekarang hanya satu; minyak panas. Ferdinand yakin dia bisa mengatasinya.


Satu telur dipecahkan ke dalam mangkuk, bawang merah dan cabai diiris tipis-tipis dengan tingkat kehati-hatian maksimal agar tidak melukai jari. Sempurna. Ferdinand bahkan tidak membutuhkan bantuan tutorial dari Internet.


Pemuda itu terdiam sejenak saat menatap minyak yang sedang dipanaskan di atas teflon. Dia menelan ludah, menyemangati diri sendiri sambil memberanikan diri.


"C'mon, Nan. You can do this. Cuma telor dadar doang ini, anjir."


Telur yang sudah dikocok bersama irisan bawang dan cabai di dalam mangkuk perlahan dituang Ferdinand ke atas teflon.


ZRRSSSHHHHH!


"THE F*CK—" Ferdinand terlompat mundur secara refleks, terkejut berlebihan saat mendengar bunyi telur yang tercampur bersama minyak panas. Kalau Frederic ada di situ, dia pasti sudah dikatai alay.


Safe. Ferdinand mengembuskan napas lega, mendengus dengan sombong. "Heh. Gini doang ternyata."


Dua menit berlalu. Telur di atas teflon mulai tampak berubah warna. Coklat kehitaman juga mulai muncul pada tepi telur dadar yang masih digoreng. Ferdinand tahu inilah momen di mana ia harus membalik telur agar tidak menjadi hangus dan pahit.


Mampus, gimana ini.


Sebuah ide muncul dalam benak, Ferdinand ngibrit [2] ke kamar untuk mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja. Setelah kunci layar berhasil dibuka, Ferdinand mengirimi Frederic chat bertubi-tubi.


ferdinand leonardo: p ferdinand leonardo: pppp ferdinand leonardo: eriiiiiccccc ferdinand leonardo: urgent ini ric, tolongin gueeee ahsjshsjskd ferdinand leonardo: RIC ANJIR BENERAN INI ferdinand leonardo: ERIIIIICCCCCC AAAAAAA


Semua chat hanya terkirim tanpa dibaca oleh penerimanya. Di tengah kepanikannya, Ferdinand menekan speed dial nomor 9, yang langsung terhubung dengan nomor telepon Frederic.


"Nomor yang Anda tuju, sedang berada di luar jangkauan."


Ferdinand spontan mengutuk kebodohannya setelah mengingat kalau Frederic sedang pergi ke Gunung Bromo. Dengan kata lain, tidak ada sinyal. Kepanikannya belum mereda saat Ferdinand kembali melesat ke arah kompor, meratapi telur dadarnya yang sudah menghitam pada sebagian besar permukaannya. Jemari Ferdinand memutar knop kompor kembali ke posisi off.


Saat itulah sebuah 'nasehat memasak' dari Frederic melintas dalam kepalanya.


"Kalo lo sebegitu takutnya sama minyak panas, matiin dulu kompornya sebelum balikin telor."


Dengan wajah yang merah padam, Ferdinand mengutuk kebodohannya.


***


Omake/Bonus "Halo, Nan? Kenapa nelepon? Apanya yang urgent?"


Ferdinand sontak diselubungi rasa bersalah sekaligus malu saat mendengar nada suara Frederic yang terdengar panik di seberang sana. "Nggak jadi, kok. Udah clear."


"Jangan main-main lo, apanya yang darurat?" desak Frederic sekali lagi.


Ferdinand mengalihkan pandang sambil menggaruk bagian belakang kepala. Enggan menjawab. "Eh, itu... cuma telor dadar, kok."


"Hah?"


"Telor dadar. Gue nggak berani ngebalik telor di atas teflon."


"...."


"...."


"...."


"... Hehehehehehe."


"ARE YOU F*CKING KIDDING ME—"


***


DeathLine Side Story #1: Urgent Situation End


Happy birthday, Dinan :)


***


Glossary [1] AFK: Away From Keyboard [2] Ngibrit: lari terbirit-birit (bahasa Sunda)


(c) Vee, 2021

***


Plis, Nan. Itu telor udah gosong, lupa dikasi garem pula... /cri

© Copyright
© Copyright
bottom of page